Rasanya aku sangat sedih. Aku berpikir diriku tak berharga. Aku merasa sendiri bahkan aku berpikir tak akan ada orang yang sedih dan kehilangan saat aku pergi. Tak ada orang yang membutuhkanku.
Badanku terasa lemah dan lemas. Ada rasa takut untuk bangun dari tempat tidur.
Apakah aku akan baik-baik saja jika aku beranjak dari tempat tidur?
Apakah aku tidak akan memikirkan hal buruk itu lagi ketika aku bangun dari tempat tidur?
Apakah aku tidak akan marah-marah pada anak jika aku keluar dari kamar?
Sepertinya tidak!
Aku hanya akan membuat permasalahan menjadi besar. Biarkan aku disini dulu, di tempat tidur ini, sampai aku siap. Biarkan aku merasakan sedih ini sendiri.
Begitu pikirku.
Namun nyatanya, perasaan sedihku tak sirna. Bahkan bertambah. Video lucu atau drama hanya mengalihkan rasa sedih dan pikiran yang tak ingin aku pikirkan. Aku makin menarik diri dari koneksi orang-orang terdekatku. Aku bahkan tak punya keberanian untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarku.
Pikiran berlalu lalang berisik di kepalaku. Hanya saja aku malas menggubris mereka. Aku benar-benar tak mau memikirkan mereka. Aku hanya tak mau berpikir. Bodo amat.
Sampai akhirnya sesi jadwal ku bertemu dengan psikolog tiba. Ya, aku memang beberapa bulan ke belakang konsultasi dan terapi dengan psikolog untuk gangguan kecemasan (anxiety disorder). Cerita ini mungkin aku akan ceritakan lain kali.
Seperti biasa, di awal bertemu aku ditanya bagaimana perasaanku. Belum juga aku cerita, aku sudah tak kuasa menahan tangis. Sambil aku mencoba mengontrol tangisku, aku menceritakan apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi.
Ternyata ada kasus baru di episode kesehatan metalku kali ini. Dari apa yang aku ceritakan, ada gejala yang mengarah pada depresi. Aku mengalami kejadian yang membuatku syok. Dimana syok ini mengantarku pada tahap marah (angry) lalu frustasi. Di tahap frustasi inilah kondisiku saat ini. Kondisi yang menentukan apakah aku akan bangkit atau semakin menurun dan menjadi depresi.
Maka psikolog ku memberi pilihan pada ku. Aku masih boleh di fase frustasi ini dengan catatan aku perlu menentukan sampai kapan aku berada disini. Tapi entah mengapa, aku tak bisa memilih. Aku hanya ingin menjalaninya saja. Aku tak ingin pasang target. Aku tak ingin berpikir berat.
Mungkin karena sudah tanda bahaya, psikologku ingin bertemu dengan suamiku, sebagai support system-ku.
Akhirnya kupanggil suamiku dan bertemulah suamiku dengan psikolog. Dijelaskan apa yang terjadi padaku, termasuk kenapa aku terlihat malas dan tak mau berpikir. Ya, hormon kortisol (homon stres) sedang menguasai diriku. Lalu, psikolog juga menjelaskan apa yang harus suamiku lakukan untuk membantuku keluar dari fase ini.
Selesai sesi sore itu, aku merasa suamiku berubah menghadapiku yang berada pada fase frustasi ini. Awalnya, dia merasa kesal dan merasa apa yang aku lakukan hanyalah alasan agar aku tak mengerjakan pekerjaan rumah. Karena ya, siapa juga yang senang melihat ada seonggok orang yang berhari-hari tak turun dari tempat tidurnya dan tak bisa diajak berpikir. Tak nafsu makan dan baru tidur menjelang pagi. Akan sulit bagi orang awam untuk memahami gejala-gejala kesehatan mental yang dialami seseorang. Bersyukur aku masih ada psikolog yang mendampingiku yang bisa menjelaskan kondisiku pada suamiku.
Ya, dia mulai memahami apa yang terjadi padaku. Dia mulai membantuku keluar dari lubang yang sebenarnya tak nyaman dan tak enak bagiku. Dia mulai membantuku mengerjakan PR yang diberikan psikolog. Mengajakku pillow talk dan menanyakan hal baik apa yang aku lakukan hari ini agar rasa keberhargaan atas diriku bisa kembali tumbuh. Paginya, aku diajak untuk ballancing lalu diajak bergerak ritmis. Aku belum mau diajak jalan-jalan keluar rumah, maka aku diajak untuk senam.
Ini hari ketiga semenjak sesiku dengan psikolog dan aku merasa sudah lebih baik. Aku memang masih memikirkan kesediahanku, tapi tak lagi dalam seperti beberapa hari lalu. Aku mulai mau keluar kamar dan mengerjakan beberapa hal yang sudah aku tinggal beberapa hari. Bahkan hari ini aku sempat keluar rumah untuk suatu urusan! Kaki dan tanganku sempat bergetar saat akan masuk ruangan, tapi aku berhasil melewatinya. Aku berhasil mengatasi ketakutanku.
Oiya, tadi malam, suamiku sempat bertanya, apa yang membuatku bersemangat hari ini.
“Aku pikir karena dua hari ini aku sudah mengerjakan PR dari psikolog.” Begitu jawabku.
Namun, aku juga berpikir perubahan sikap dan cara berpikir suami dalam menghadapiku lah yang paling membantuku bangkit. Aku tahu bahwa suamiku memahami kondisiku, itu membuatku sangat senang dan mulai tenang.
Hmmm, sebuah proses yang cukup panjang. Namun aku mulai bisa bersyukur, aku masih punya suami yang mau mendengarkan penjelasan dan arahan dari psikolog. Dan aku diberi kesempatan untuk punya akses ke psikolog. Tak banyak orang yang mau dan bisa mendapatkan akses ini. Karena bagi sebagian orang kesehatan mental adalah hal yang tabu. Bahkan banyak stigma negatif tentang orang-orang dengan gejala mental atau orang yang meminta bantuan ke psikolog.
Saranku, bagi teman-teman yang merasa berbeda pada dirinya dan terasa berat secara mental, mintalah bantuan. Datanglah ke profesional jika sudah sangat mengganggu kehidupan.
Di awal tulisan ini, aku bercerita tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku pikirkan. Cerita itu adalah tanda bahaya bagiku. Jika tak segera ditangai gejala yang aku alami akan berubah menjadi gangguan berupa depresi. Bagiku yang juga mempunyai gangguan kecemasan, akan lebih mudah untuk terkena gangguan mental yang lain.
Tulisan ini, selain untuk mengalirkan apa yang aku rasakan dan alami, aku hanya ingin menginformasikan bahwa kesehatan mental juga hal yang penting. Sama halnya dengan kesehatan fisik. Jangan sepelekan gejalanya. Lalu konsultasikan dengan profesional.
Semangaaat untuk yang sedang berjuang “sembuh” dari gangguan mental. You are not alone!
Kudus, 22 September 2021
2 Komentar
Perjalanan Mengenal dan Menghadapi Anxiety Disorder – Tutik Andarini
Gangguan Kecemasan, Musibah atau Berkah – Tutik Andarini