Kehidupan, bumi, tumbuhan, dan sampah memang menjadi salah satu bahasan seru yang sering aku dan sulungku diskusikan. Mungkin awalnya memang karena aku sering mengajaknya berkeliling lingkungan rumah dan berdiskusi ringan tentang sampah. Juga karena dia melihat langsung dampak sampah yang penuh di got sehingga membuat saluran air penuh dan kadang meluap. Ditambah buku-buku yang dia baca tentang bumi dan tayangan-tayangan di youtube yang dia tonton.
Mah, bagaimana sih cara biar tanamannya banyak? Tanyanya suatu saat setelah dia melihat tayangan tentang manfaat tanaman bagi tubuh dan dampak ketika tanaman mulai berkurang. Saat itu, kami juga berdiskusi panjang. Namun, berhenti sampai diskusi saja.
Mah, bagaimana cara kita mengurangi sampah di bumi? Tanyanya kali ini.
Dari hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan Akhtar, seperti buang sampah di tempatnya. Kalau belanja bawa tas belanja sendiri. Jawabku.
Kalau plastik dari belanja sih bisa aku buat parasut atau aku buat yang lain Mah. Yang besar gitu loh Mah. (maksud dia, yang berdampak besar).
Lalu, aku carikan di youtube tentang Pandawara yang beberapa saat ini sedang viral. Aku perlihatkan bagaimana kakaknya mengambil sampah di sungai.
Aku kan nggak punya peralatannya Mah. katanya lagi.
Maka aku pun memberi saran.
Akhtar bisa mulai dari hal yang sederhana dan di sekitar kita. Misalnya, Akhtar bisa ambil sampah di sekitar rumah kita. Akhtar bisa bikin alat pengambil sampah. Lebih baik kalau Akhtar bisa ajak teman-teman Akhtar.
Emang ngajak orang-orang itu gampang! Susah tau Mah. Aku tertawa dalam hati.
Memang susah Akhtar. Tapi susah bukan berarti tidak bisa kan. Lagian Allah menilai kita bukan dari hasilnya. Bukan seberapa banyak sampah yang kita kumpulkan dan berapa banyak orang yang mau kita ajak. Tapi bagaimana usaha kita. Akhtar mau memikirkan bumi saja, Allah pasti tambah senang dan sayang sama Akhtar. Apalagi kalau Akhtar mau ambil sampahnya.
Percakapan berhenti disitu. Aku pikir, dia hanya bertanya dan sudah. Namun ternyata, hari berikutnya, dia buat tongkat pengambil sampah dari kayu sisa pembuatan rumah kardusnya.
Hari Sabtu di Minggu yang sama, pagi-pagi, dia ajak adiknya dan salah satu temannya untuk ambil sampah.
Berkeliling kompleks sekitar rumah. Pulang-pulang, wajahnya berseri karena dapat 3 plastik sampah.
Dan tak berhenti disitu, alat yang awalnya hanya kayu saja, dia tambahkan semacam paku agar sampah lebih mudah diambil.
Hari berikutnya, dia lakukan lagi. Namun, raut wajahnya sedih karena hanya dapat 1 plastik dan temannya tak mau diajak lagi.
Dia bilang akan melakukan pengambilan sampah setiap minggu, aku tak tahu apakah minggu ini project ini akan berlanjut. Mari kita lihat dan amati. hihihi.
Mungkin orang akan berpikir, ini anak-anak kok disuruh ambilin sampah sih. Bukannya sekolah, malah mulung sampah. ><
Tapi ya begitulah “sekolahnya” kami. Salah satu cara belajar kami adalah Problem Based Learning. Belajar dari masalah. Dan masalah yang anak temukan adalah masalah lingkungan. Dimana, masalah ini sudah jangan ditanyakan lagi dampaknya.
Perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu, sampah yang menggunung di TPS, wabah penyakit yang bertambah banyak, dll.
Dengan penerapan penerapan model belajar ini, anak sebenarnya belajar banyak. Belajar apa saja?
1. Matematika. Mengukur tongkat yang akan dia gunakan dengan penggaris (ini salah satu materi matematika SD kelas 2 di kurikulum 2013)
2. Mengenal lingkungan sekitar rumah (ini juga materi SD kelas 2 yang aku download di Staradaring-nya Kemendikbud untuk pendidikan kesetaraan).
Jadi, anak-anak tak hanya belajar lewat teks dan buku, tetapi belajar langsung di masyarakat lewat masalah yang mereka temukan.
Dan menurut beberapa jurnal yang aku baca, anak-anak yang belajar dengan metode problem based learning lebih bisa berpikir kritisa dan lebih baik dalam memahami materi.
Itu kalau dilihat dari kacamata “belajar” yang selama ini berkembang di lingkungan kita. Jauh dari itu, dibanding sekedar materi, bagaimana anak bisa lebih berempati dan melakukan sesuatu untuk lingkungannya, jauh lebih berharga bagiku.
Jadi, ketika aku membiarkan anakku memungut sampah, bukan berarti aku tega atau bahkan menjadikan mereka menjadi pemulung. Namun, banyak pembelajaran yang mereka dapat dari situ.
Harapanku tentu akan menjadi sebuah project yang bisa dia lakukan secara konsisten dan bisa berdampak lebih luas. Namun, bahkan ketika mungkin hanya dilakukan sekali atau dua kali, aku yakin sekali ada nilai dan pembelajaran yang dia dapat.
Lalu, memangnya tidak khawatir? Khawatir pasti ada. Sebagai ibu, aku mengkhawatirkan kebersihan mereka dan sesuatu yang mungkin berbahaya mereka temui. Namun, setelah aku beri penjelasan dimana saja mereka boleh ambil sampah dan bagaimana cara mereka ambil sampah, serta bagaimana mereka membersihkan diri mereka setelah ambil sampah. Aku hanya bisa mendoakan. Aku serahkan dan pasrahkan mereka pada Allah. Pemilik mereka. Allah lah penjaga dan penyelamat terbaik mereka.
Tidak ada Komentar