Hatiku nyeri membaca berita yang sedang hangat. Tentang seorang ibu yang menyakiti 3 anaknya dengan alasan untuk melindugi anaknya agar tidak tersakiti.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang dialami ibu itu. Bukan kapasitasku untuk mendiagnosis apa yang terjadi.
Cerita itu hanya mengingatkanku pada diriku beberapa waktu yang lalu. Dimana aku pun berada diposisi yang mirip. Aku menghindari anak-anakku. Aku membiarkan anak-anakku. Aku acuh pada anak-anakku. Karena aku takut. Takut mereka hanya akan menjadi pelampiasan emosi negatifku jika aku berada di dekat mereka.
Aku memilih untuk diam menyendiri di kamar sebagai coping.
Apakah aku tidak menyayangi anakku? Tentu saja aku sangat menyayangi mereka.
Lalu, kenapa aku melakukan itu? Karena saat itu, menurutku, menghindari anak-anak adalah hal yang bisa menyelamatkan anak-anakku dari teriakanku dan dari perilakuku yang buruk.
Kejadian itu terjadi saat anxiety disorder-ku masih cukup parah. Juga saat aku relapse (kambuh) dan hampir memasuki fase depresi.
Ya, bagi orang yang mentalnya sehat, mungkin dia akan bilang bahwa pemikiranku tidak logis, sebagai ibu seharusnya aku tidak begitu, seharusnya aku bersyukur karena dikaruniai 2 anak, kasian anaknya dicuekin, dan komentar-komentar yang lain.
Namun, itulah kenyataannya. Gangguan mentalku membuat pikiranku berbelok. Pikiranku tidak pada lintasan yang sebenarnya. Maka muncul pikiran negatif dan overthinking berlebihan serta pemikiran-pemikiran yang tidak logis. Aku takut pada sesuatu yang bahkan mungkin tidak akan terjadi.
Aku beruntung dan aku bersyukur aku masih bisa bangkit. Allah menuntunku ke jalan dimana aku bisa belajar tentang mental health. Aku juga dipertemukan dengan mentor seorang psikolog. Yang akhirnya kini beliau membantuku pulih secara profesional. Suamiku, yang awalnya juga tak terlalu paham tentang mental health, kini mulai paham dan menjadi support system utamaku.
Dan yang terpenting, gangguan mentalku menjadi perjalanan spiritual yang mahal harganya. Aku jadi bisa belajar untuk mengimani bahwa apapun yang terjadi pada hidupku adalah kuasa Allah. Bukan karena usahaku. Tapi karena kebaikan Allah. Termasuk gangguan mental yang terjadi padaku. Itu terjadi karena ijin Allah. Takdir Allah.
Bisa jadi, ketika aku tak mengalami gangguan ini, aku tidak belajar berpasrah pada Allah. Aku masih merasa bahwa anak-anak yang sehat, pintar dan sukses semata-mata karena usaha keras seorang ibu sehingga aku dengan mudah menghakimi diri sendiri dan ibu-ibu yang lain.
##############################################################################
Namun, ada ibu yang tidak seberuntung aku. Dia berjuang sendiri dengan luka dalam yang menganga. Yang tak sempat disembuhkan dan harus mengalami luka yang lain.
Aku sebagai sesama ibu, tahu betul rasa bersalah yang mendalam ketika harus berteriak dan marah-marah pada anak. Rasa bersalah saat merasa tak memberikan yang terbaik pada anak. Dan ketakutan bagaimana anak akan tumbuh dan berkembang. Serta rasa sakit saat harus mendengar komentar-komentar negatif dari orang yang tak tahu menahu.
Sebagai penderita gangguan mental, aku tahu betul rasa tak nyaman yang tak bisa dengan mudah dideskripsikan. Serta perasaan frustasi ketika tak seorangpun memahami apa yang sedang aku rasakan dan alami. Karena gejala gangguan mental tidak sejelas penyakit fisik.
Jika kaki yang patah, dengan mata telanjang, kita bisa melihatnya karena si penderita tak lagi bisa berjalan menggunakan kaki yang patah. Namun, ketika pola pikir yang patah, mata telanjang tidak akan menduganya.
Maka, kita, sesama perempuan, yuk saling mendukung, saling memahami. Jika tidak bisa membantu, paling tidak, jangan berkomentar yang tidak diperlukan. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi mental seseorang. Kita juga tidak tahu kekuatan mental seseorang.
Dan bagi semua perempuan di luar sana, apapun kondisimu.
Ibu rumah tangga dengan bantuan ART, ibu rumah tangga yang mengerjakan semua sendiri, ibu yang bekerja di publik dan mengurus anaknya, ibu yang bekerja di publik dan menitipkan anaknya, calon ibu yang belum dikarunia anak, dan semua perempuan di luar sana.
Kalian hebat.
Jangan membandingkan diri kalian dengan yang lain.
Kalian indah dengan warna masing-masing.
Kalian berharga.
Kalian dicintai
Kalian dibutuhkan.
Maafkan diri sendiri ketika tak sengaja dan tak kuat menahan amarah. Kalian masih bisa minta maaf ke anak-anak.
Maafkan diri sendiri ketika merasa tak bisa memberikan yang terbaik bagi anak. Kita masih punya waktu untuk belajar. Ijinkan diri untuk berproses.
Kenapa?
Karena kita manusia biasa. Kita bukan manusia yang sempurna.
Jangan berusaha jadi ibu yang sempurna. Berusahalah menjadi ibu yang bahagia.
Tidak ada Komentar