Bela diri adalah salah satu skill olahraga yang diwajibkan oleh suami untuk anak-anak, selain berenang. Walaupun ini adalah “mata pelajaran” yang diwajibkan di kurikulum pendidikan rumah kami, suami tetap berusaha menyampaikannya dengan cara berdiskusi dan berdialog. Karena, bagaimana pun juga, anak-anak lah yang akan menjalankan, tentu saja pendapat mereka sangat penting untuk dipertimbangkan.
Diskusi panjang antara ayah dan anak pun terjadi. Kesimpulannya, anak memilih untuk ikut bela diri, Tarung Drajat.
Hanya saja, karena satu dan lain hal, termasuk latihan yang kadang ada, kadang tidak, anak pindah ke Taekwondo. Ini pun juga melewati diskusi yang cukup panjang.
September, Akhtar mulai ikut berlatih. November, ada kesempatan untuk Ujian Kenaikan Tingkat (UKT). Lagi-lagi kami diskusikan. Apakah dia mau ikut sekarang atau UKT selanjutnya. Apa konsekuensi ketika dia ikut November dan apa konsekuensi saat dia tak ikut. Akhirnya dia memutuskan untuk ikut UKT. Tentu dengan konsekuensi dimana dia perlu berlatih lebih dari teman-temannya yang lain yang lebih dulu belajar.
Setiap hari, entah pagi atau sore, dia akan menyisihkan 15 menit waktunya untuk berlatih. Karena baru pertama, tentu saja kami (aku dan suami) harus mendampinginya. Mau tak mau kami ikut berlatih gerakan-gerakan yang menjadi syarat UKT. Berlatih gerakan kaki, tangan, dan hitungannya, berbekal youtube. Hihihi.
Setelah berhasil lulus UKT dan naik ke sabuk kuning, Akhtar berkesempatan mengikuti turnamen Taekwondo yang dilaksanakan bulan Februari lalu.
Aku sempat berpikir, apakah sudah tepat Akhtar ikut kompetisi. Aku dan suami memang berpendapat anak-anak usia dini belum perlu berkompetisi. Karena dari beberapa sumber yang kami baca, anak-anak lebih baik diajarkan berkolaborasi dibanding berkompetisi. Karena dengan berkolaborasi, anak-anak belajar untuk mengembangkan diri dengan kontinyu dan lebih memungkinkan untuk memperoleh motivasi dari dalam diri dibanding ketika harus berkompetisi dengan anak lain.
Saat usia Akhtar 6 tahun, Akhtar punya kesempatan untuk mengikuti sebuah kompetisi dimana ketika latihan di tempat les, dia memegang waktu tercepat dibanding teman-temannya. Artinya, dia bisa saja memenangkan kompetisi jika dia mengikutinya. Namun, aku dan suami berpikir beberapa kali.
Kompetisi ini tujuannya untuk apa?
Untuk kepentingan anak? Agar anak percaya diri?
Apakah benar berkompetisi membuat anak percaya diri? Ternyata setelah aku pelajari, kompetisi bukan hal yang membuat anak percaya diri, tetapi bagaimana orang tua menerima anak apa adanya, bagaimana orang tua berempati dan bagaimana anak mengekspresikan perasaannya.
Bahkan, pengalaman pribadiku mengajarkan aku bahwa kompetisi yang terlalu dini (ya, aku dari kecil sudah sangat sering berkompetisi dan sangat kompetitif), tidak menjadikanku orang yang percaya diri. Malah membuat aku orang pencemas ketika harus berdiri di depan banyak orang.
Kata psikologku, salah satu penyebabnya, karena aku di hadapkan pada kondisi yang kompetitif (perlombaan) padahal sebenarnya aku belum siap. Yes, di aku, terlalu banyak kompetisi di usia muda, dampak negatifnya aku bawa sampai dewasa.
Agar anak belajar menang dan kalah?Benarkah anak usia dini sudah bisa memaknai menang dan kalah? Bukankah anak usia dini berpikirnya masih enak dan tidak enak? Pusat perasaannya lah yang sedang berkembang?
Dibeberapa sumber yang aku baca, kompetisi bisa dimulai saat usia anak 8-10 tahun bahkan ada yang menyatakan bahwa kompetisi bisa dilakukan bagi anak usia SMP ketika akalnya sudah matang.
Maka, kami pun berusaha meminimalkan mengikutkan anak-anak kami yang usianya dibawah 7 tahun untuk berkompetisi kecuali lomba 17-an dimana semua dapat hadiah atau lomba-lomba yang basisnya adalah keluarga. Dimana anggota keluarga ikut berpartisipasi dan tujuannya adalah bonding.
Maka, ketika Akhtar ada kesempatan mengikuti turnamen di usianya yang hampir 9 tahun, aku dan suami berdiskusi panjang terlebih dahulu. Dan hasil diskusi kami adalah
1. Kami setuju untuk mengikutkan anak lomba karena menurut kami, usianya sudah cukup untuk paham makna kalah dan menang. Serta dia sudah paham tanggung jawab terhadap pilihannya. Dan tentu saja selama itu keinginan anak.
2. Tujuan kami mengikutkan anak lomba adalah sebagai sarana atau media belajar Akhtar. Belajar disiplin, belajar bertanggung jawab dan belajar sosialisasi.
3. Tidak dipungkiri, aku dan suami masih sering melihat hasil dibanding usaha, maka kami berusaha untuk lebih melihat usaha dan proses Akhtar dibanding hasilnya.
Dan akhirnya, Akhtar memutuskan untuk ikut turnamen Taekwondo dengan konsekuensi yang sudah dia tahu bahwa
1. Dia akan berlatih dengan Saebom setiap sore Senin-Jumat. Artinya, dia kehilangan waktu main bersama teman-temannya di sore hari.

Latihan sore
2. Dia akan latihan stamina dengan papanya di pagi hari yaitu dengan jogging.
3. Dia tidak boleh makan es, gorengan, dll.
4. Menjaga berat badan.
5. Dia harus bertanggung jawab terhadap pelindung badan yang dipinjamkan oleh pelatih dengan membersihkan-nya setiap pulang latihan dan menggantung-nya.
Dan alhamdulillah, dia bisa bertanggung jawab terhadap pilihan yang sudah dia pilih. Bahkan konsekuensi yang dia harus pikul ternyata lebih dibanding yang diperkirakan. Kaki yang sakit setelah beberapa hari latihan sehingga harus direndam es. Bibir yang berdarah saat bertanding, dll.

Saat bertanding
Sampai akhirnya, dia bisa mendapat medali di turnamen tersebut.
Sebagai ibu, aku sangat bangga terhadap prestasinya. Secara naluri dan ego aku sangat ingin membanggakan medalinya. Siapa orang tua yang tidak bangga ketika anaknya mendapat hasil maksimal.
Namun, aku belajar untuk kembali ke niat dan tujuan awal, bahwa kami mengijinkan Akhtar ikut bertanding sebagai sarananya belajar. Maka apa yang aku ucapkan padanya adalah.
“Mama bangga Akhtar dapat medali, tetapi Mama lebih bangga karena Akhtar mau berjuang dengan latihan setiap hari. Akhtar bisa menahan diri untuk tidak makan makanan yang sedang tidak diperbolehkan. Mama bangga karena Akhtar mau merawat pelindung dirinya sendiri, dan bahkan sesekali mencuci baju taekwondo sendiri.”

Mencuci baju Taekwondo sendiri
Dan, sekarang, saat aku menuliskan ini, aku refleksi. Ternyata saat mendampingi anak belajar dan bertumbuh, saat itulah orang tua juga belajar dan bertumbuh. Bahkan lebih keras dibanding anak-anak.
Kalau sudah begini, tak bisa lagi aku elak bahwa anak adalah guru. Berkat mereka aku belajar dan bertumbuh.
Tidak ada Komentar