Bela diri adalah salah satu skill olahraga yang diwajibkan oleh suami untuk anak-anak, selain berenang. Walaupun ini adalah “mata pelajaran” yang diwajibkan di kurikulum pendidikan rumah kami, suami tetap berusaha menyampaikannya dengan cara berdiskusi dan berdialog. Karena, bagaimana pun juga, anak-anak lah yang akan menjalankan, tentu saja pendapat mereka sangat penting untuk dipertimbangkan. Diskusi panjang antara ayah dan anak pun terjadi. Kesimpulannya, anak memilih untuk ikut bela diri, Tarung Drajat. Hanya saja, karena satu dan lain hal, termasuk latihan yang kadang ada, kadang tidak, anak pindah ke Taekwondo. Ini pun juga melewati diskusi yang cukup panjang. September, Akhtar mulai ikut berlatih. November, ada kesempatan untuk Ujian Kenaikan Tingkat (UKT). Lagi-lagi kami diskusikan. Apakah dia mau ikut sekarang atau UKT selanjutnya. Apa konsekuensi ketika dia ikut November dan apa konsekuensi saat dia tak ikut. Akhirnya dia memutuskan untuk ikut UKT. Tentu dengan konsekuensi dimana dia perlu berlatih lebih dari teman-temannya yang lain yang lebih dulu belajar. Setiap hari, entah pagi atau sore, dia akan menyisihkan 15 menit waktunya untuk berlatih. Karena baru pertama, tentu saja kami (aku dan suami) harus mendampinginya. Mau tak mau kami ikut berlatih gerakan-gerakan yang menjadi syarat UKT. Berlatih gerakan kaki, tangan, dan hitungannya, berbekal youtube. Hihihi….
Kehidupan, bumi, tumbuhan, dan sampah memang menjadi salah satu bahasan seru yang sering aku dan sulungku diskusikan. Mungkin awalnya memang karena aku sering mengajaknya berkeliling lingkungan rumah dan berdiskusi ringan tentang sampah. Juga karena dia melihat langsung dampak sampah yang penuh di got sehingga membuat saluran air penuh dan kadang meluap. Ditambah buku-buku yang dia baca tentang bumi dan tayangan-tayangan di youtube yang dia tonton. Mah, bagaimana sih cara biar tanamannya banyak? Tanyanya suatu saat setelah dia melihat tayangan tentang manfaat tanaman bagi tubuh dan dampak ketika tanaman mulai berkurang. Saat itu, kami juga berdiskusi panjang. Namun, berhenti sampai diskusi saja. Mah, bagaimana cara kita mengurangi sampah di bumi? Tanyanya kali ini. Dari hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan Akhtar, seperti buang sampah di tempatnya. Kalau belanja bawa tas belanja sendiri. Jawabku. Kalau plastik dari belanja sih bisa aku buat parasut atau aku buat yang lain Mah. Yang besar gitu loh Mah. (maksud dia, yang berdampak besar). Lalu, aku carikan di youtube tentang Pandawara yang beberapa saat ini sedang viral. Aku perlihatkan bagaimana kakaknya mengambil sampah di sungai. Aku kan nggak punya peralatannya Mah. katanya lagi. Maka aku pun memberi saran. Akhtar bisa mulai dari hal yang sederhana dan di…
Buku, adalah sesuatu yang menjadi prioritas ketika aku punya anak. Bukan, bukan karena aku sangat suka membaca buku. Aku suka membaca tetapi bukan hobi yang rutin aku jalani. Aku menjadikan buku sebagai prioritas karena aku ingin anak-anak dekat dengan buku dan suka membaca buku. Karena menurutku, dengan disediakan buku di rumah dan dibacakan buku, anak-anak akan mencintai buku sehingga menganggap buku sesuatu yang menyenangkan. Berbeda ketika anak-anak baru mengenal buku saat sudah sekolah. Dimana “biasanya” (tidak selalu) buku-buku dari sekolah adalah buku-buku pelajaran dan buku-buku yang berisi soal-soal. Sehingga kebanyakan, akan mempersepsikan buku itu sesuatu yang tidak menyenangkan bahkan menakutkan. Pemikiran itulah yang mengawali mengapa aku dulu sudah membelikan buku anak untuk anak pertamaku di usia 6 bulan. Namun, makin kesini, aku makin tahu manfaat dari membacakan buku. Tidak hanya membuat anak suka dengan buku tetapi anak juga jadi punya banyak kosakata dengar sehingga kosakata ucapnya juga akan semakin banyak dan bervariatif. Buku juga membantu orang tua menanamkan nilai-nilai dan pembelajaran kepada anak. Seperti kisahku dibawah ini. Sebuah kejadian nyata yang manfaat membacakan buku, bisa aku rasakan langsung. Beberapa waktu lalu, beberapa minggu setelah liburan idul fitri, aku, suami, dan anak-anak pergi ke swalayan di kota kami. Anak keduaku berusia…
Sudah kuduga hal ini akan terjadi. Aku sudah sering menghadapi kondisi ini. Anak pertamaku, bangun tidur siang panik karena merasa terlambat ke masjid. Padahal adzan baru saja berkumandang. Ya, dia merasa saat adzan sudah berkumandang dan dia belum berangkat ke masjid, dia sudah terlambat. Akibatnya, dia mulai panik dan mulai menangis. Kami tidak pernah menuntutnya untuk datang ke masjid tepat waktu. Seingatku, suami hanya minta dia sholat di masjid minimal 1 kali sehari sebagai latihan karena saat itu usianya memasuki usia 7 tahun. Namun, anakku melebihi apa yang diminta papanya. Dia bahkan ke masjid 4-5 kali sehari dan selalu berangkat sebelum adzan. Tanpa ada yang memintanya. Dia bilang dia hanya ingin pahala yang banyak. Masalah muncul saat dia harus tidur siang tetapi bangun diwaktu yang mepet dengan waktu adzan ashar. Saat dia bisa tidur siang cepat, tidak akan jadi masalah karena dia bisa bangun jam 2. Akan menjadi masalah ketika mendekati jam 2 dia baru bisa terlelap. Tentu bangun tidak bisa jam 2. Biasanya akan bangun saat Adzan atau Iqomah. Karena sudah terbiasa menghadapi hal tersebut, sebelum tidur aku sering bikin kesepakatan sama si sulung. Gimana jika dia tidurnya cepet, gimana kalau tidurnya lama, gimana kalau dibangun sebelum adzan, gimana…
Apakah kamu tidak khawatir anakmu tertinggal dari anak-anak lain jika homeschooling? Beberapa kenalan dan keluarga ada yang bertanya ketika kami menjelaskan bahwa kami memilih jalur homeschooling untuk pendidikan anak-anak. Hmmm, perasaan khawatir itu tentu terkadang muncul. Namun, kembali aku pikirkan tujuan dan filosofi homeschooling ataupun home education yang aku pegang. Bahwa setiap anak unik dan spesial dengan pertumbuhan dan perkembangan masing-masing. Serta anak-anak adalah pembelajar sejati dengan milestone masing-masing yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Orang tua atapun pendidik ibarat seorang petani yang merawat tanaman yang dititipkan kepadanya. Kita tidak tahu tanaman apa yang dititipkan. Bisa jadi tanaman sawi lah yang dititipkan. Tanaman yang beberapa minggu saja sudah bisa dipanen. Atau bambu adalah tanaman yang sedang kita rawat? Walaupun tanaman ini kita siram ataupun pupuk, bambu tidak akan bertambah tinggi secara significant di 5 tahun pertama. Mengapa? karena dia sedang menggunakan tenaganya untuk menumbuhkan dan menguatkan akar-akarnya. Setelah itu, bambu akan bertumbuh tidak hanya dalam hitungan cm tetapi meter. Kedua pohon tersebut punya karakteristik dan manfaat yang berbeda. Tentu saja perkembangan dan cara bertumbuhnya akan berbeda. Pun anak-anak. Aku percaya bahwa setiap anak spesial dengan tujuan penciptaan yang berbeda-beda dan tentu saja cara mereka bertumbuh juga akan berbeda satu…
“Mah, gimana sih caranya bilang ke cewek kalau kita mau menikah sama cewek itu?” Jeder, sebuah pertanyaan tiba-tiba yang datang dari si sulung yang baru berusia 7 tahun. “Kenapa kok Akhtar tanya itu? Memang Akhtar mau menikah?” Tanyaku. “Nggak papa, tanya aja. Aku mau menikah nanti kalau usia 10 tahun.” Jawabnya. Jeder, pernyataan yang bikin jedag-jedug lagi. Dulu dia pernah bilang ingin menikah di usia 22 tahun. Sekarang dia bilang mau menikah usia 10 tahun. Anak kecil kok mau menikah. Lisan ini rasanya pingin segera menceramahi. Namun aku gigit bibir dan mencoba menjawab setenang mungkin. Agar dia tak takut dan tak trauma bertanya apapun ke aku, ibunya. Aku ingin jadi tempat dia bertanya apapun. “Akhtar boleh menikah kalau sudah dewasa, sudah banyak belajar dan sudah berpenghasilan.” Kataku. “Kalau Akhtar mau menikah, yang pertama Akhtar perlu belajar tentang agama, agama kita, agama Islam. Akhtar juga perlu belajar tentang bagaimana menjadi suami dan bagaimana menjadi ayah.” Lanjutku “Setelah Akhtar sudah belajar, Akhtar berdoa sama Allah, minta wanita yang sholehah, yang cocok untuk Akhtar. Kalau sudah dipertemukan sama wanita yang cocok untuk Akhtar, Akhtar langsung bilang ke ayahnya kalau Akhtar ingin menikahi anaknya.” “Emang dulu papa juga bilang ke kakung?”. Tanya Akhtar “Iya…
Aku menghadapi hari yang tak mudah hari ini. Aku sedang bersinggungan dengan trigger yang cukup membuat aku cemas. Hari-hari ini juga hari-hari mendekati periode menstruasiku dimana masa-masa ini biasanya aku lebih sensitif. Ditambah, anakku memukul temannya yang bermain di rumah. Kondisi yang tak nyaman ditambah perilaku anak yang tak baik membuatku rasa-rasanya ingin segera memarahinya seperti biasanya. Kesalahan anak seperti itu biasanya jadi makanan empuk untukku melampiaskan segala emosi yang ada. Namun, hari ini berbeda. Aku cukup tenang menghadapi anak. Aku memanggil anakku untuk datang padaku. Bertanya padanya apa yang terjadi. Bertanya juga pada adiknya apa yang terjadi. Aku tak bisa bertanya pada teman anakku karena dia langsung menagis dan pulang setelah dipukul. Anakku mulai bercerita apa yang terjadi. Dia bilang temannya merusak kartu yang sudah dia tata dan saat dia minta kembalikan ke susunan semula, temannya tidak bisa. Akhirnya anakku memukul temannya karena marah. Lalu terjadilah dialog antara aku dan anakku. Kira-kira seperti ini ringkasan dialogku bersama anakku. M: Baik, Mama tahu kamu marah karena kartumu dirusak. Tapi memukul bukan cara yang benar untuk marah. Mama marah karena kamu memukul. Kamu tahu kesalahanmu? A: Aku tidak tahu. M: Baiklah, kamu boleh pikirkan dulu kesalahanmu, kalau sudah, kamu bisa kembali…
Setiap orang tua ingin anaknya mandiri. Berbagai cara dilakukan untuk melatih anak mandiri. Namun apakah orang tua siap menerima ketika anak-anak mandiri? Apakah orang tua ridho ketika anak-anak mempunyai pemikiran dan keputusan yang berbeda dari pemikiran dan keputusannya? Apa yang akan dilakukan orang tua ketika anak-anak ingin berjualan di usia 7 tahun? Apa yang orang tua akan lakukan ketika anak memilih jurusan kuliah yang berbeda dari keinginan orang tua? Bagaimana jika anak ternyata ingin tinggal sendiri dan berpisah tempat tinggal dari orang tua? Dan hal-hal lain yang mungkin saja terjadi pada hubungan anak dan orang tua. Apalagi ketika mereka menginjak usia dewasa. Dunia dan lingkungan anak akan sangat berbeda dari dunia dan lingkungan kita saat ini. Dunia dan lingkungan yang bisa jadi menuntutnya berpikir dan bertindak berbeda dengan cara kita berpikir dan bertindak. Apakah kita akan ridho dan rela ketika anak mandiri dalam berpikir dan bertindak? Pemikiran ini sudah lama aku pikirkan apalagi ketika bertemu dengan bahasan sesuai di Obrolan Dapur Ibu ep. 58: Ridho Terhadap Kebahagiaan Anak, Mudahkah? Aku manggut-manggut saat mendengarnya. Sudah lama aku ingin menuliskan pemikiran ini, tetapi tak kunjung terealisasi. Sampai akhirnya kemarin, waktu sesi dengan psikolog aku ditanya apakah aku sudah mulai bisa semeleh (menerima…