Tak Terasa tahun 2022 telah terlewati. Tahun yang penuh lika-liku. Ada suka ada duka. Ada salah ada belajar. Ada mengakhiri ada memulai. Aku tahu bahwa refleksi dan kontemplasi tak harus dilakukan di pergantian tahun masehi. Bahkan seharusnya refleksi dilakukan setiap hari. Namun, tak dipungkiri bahwa pergantian tahun masehi memang masih menjadi penanggalan umum sehingga lebih mudah digunakan untuk merekap memori, kejadian, dan hal lain selama 1 tahun. Maka aku akan mencoba merefleksi dan mengambil hikmah dari perjalanan hidupku satu tahun ke belakang. Aku yakin, setiap orang memiliki lahan perjuangannya sendiri-sendiri. Memiliki kesulitan dan kebahagian yang berbeda-beda. Pun aku. Tahun ini, aku dihadapkan dengan berbagai kebahagian, kemudahan, serta kesulitan sekaligus peluang untuk jadi manusia yang lebih baik. Dengan ijin Allah, aku belajar 2 hal di tahun ini. 1. Aku belajar lebih mengenal diri dan nyaman dengan diri sendiri. 2. Aku belajar untuk melepaskan. Aku belajar Let Go. Mengenal diri sendiri dan nyaman dengan diri sendiri. Mungkin akan banyak orang yang bertanya-tanya, mengapa umur sudah kepala 3 tapi baru mengenal diri sendiri? Yaa, begitulah kenyataannya. Aku merasa paling nyaman dan mengenal diri sendiri baru akhir-akhir ini. Aku baru menyadari bahwa dulu aku adalah seseorang yang terlalu memikirkan orang lain. Bukan, bukannya tak…
Rasa sakit Rasa frustasi Rasa tak nyaman Rasa bersalah Rasa lelah Rasa cemas Dan rasa-rasa lain, aku rasakan berkecamuk waktu itu. Waktu aku sedang bergulat dengan gangguan kecemasan (anxiety disorder). Tak elak kadang aku berpikir, kapan akan berakhir rasa tak nyaman ini? Sampai kapan aku harus menghadapi naik turunnya kondisi yang tak pasti ini? Ya, aku adalah penderita gangguan kecemasan. Sekitar 1,5 tahun lalu aku didiagnosis gangguan ini. Beberapa cerita sudah aku tulis disini Perjalanan Mengenal dan Menghadapi Anxiety Disorder, Tiduran Tak Selalu Berarti Malas Jika ku teropong masa-masa itu, aku mungkin menganggapnya sebuah musibah. Tubuh yang lemah, pikiran yang kacau, dan perasaan negatif yang intens. Tak ada yang enak atau membahagiakan untuk dikenang. Namun, jika saat ini aku diminta untuk berbicara tentang gangguan kecemasanku, aku akan bilang bahwa dia adalah berkah. Aku tak akan mengenal diriku lebih dalam tanpa melaluinya. Aku juga bertumbuh dan berani keluar dari zona nyaman karenanya. Ya, kualitas hidupku meningkat. Aku belajar lebih tentang mental health, aku belajar lebih tentang diri, aku berani belajar mengendarai mobil dan motor, aku berani mengeluarkan pendapatku. Tanpa banyak berpikir akibat. Aku belajar tentang lingkar kendali. Bahwa ketakutan-ketakutan yang selama ini aku rasakan adalah diluar kendali ku. Perkataan, pemikiran dan…
Hatiku nyeri membaca berita yang sedang hangat. Tentang seorang ibu yang menyakiti 3 anaknya dengan alasan untuk melindugi anaknya agar tidak tersakiti. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang dialami ibu itu. Bukan kapasitasku untuk mendiagnosis apa yang terjadi. Cerita itu hanya mengingatkanku pada diriku beberapa waktu yang lalu. Dimana aku pun berada diposisi yang mirip. Aku menghindari anak-anakku. Aku membiarkan anak-anakku. Aku acuh pada anak-anakku. Karena aku takut. Takut mereka hanya akan menjadi pelampiasan emosi negatifku jika aku berada di dekat mereka. Aku memilih untuk diam menyendiri di kamar sebagai coping. Apakah aku tidak menyayangi anakku? Tentu saja aku sangat menyayangi mereka. Lalu, kenapa aku melakukan itu? Karena saat itu, menurutku, menghindari anak-anak adalah hal yang bisa menyelamatkan anak-anakku dari teriakanku dan dari perilakuku yang buruk. Kejadian itu terjadi saat anxiety disorder-ku masih cukup parah. Juga saat aku relapse (kambuh) dan hampir memasuki fase depresi. Ya, bagi orang yang mentalnya sehat, mungkin dia akan bilang bahwa pemikiranku tidak logis, sebagai ibu seharusnya aku tidak begitu, seharusnya aku bersyukur karena dikaruniai 2 anak, kasian anaknya dicuekin, dan komentar-komentar yang lain. Namun, itulah kenyataannya. Gangguan mentalku membuat pikiranku berbelok. Pikiranku tidak pada lintasan yang sebenarnya. Maka muncul pikiran negatif…
Sudah kuduga hal ini akan terjadi. Aku sudah sering menghadapi kondisi ini. Anak pertamaku, bangun tidur siang panik karena merasa terlambat ke masjid. Padahal adzan baru saja berkumandang. Ya, dia merasa saat adzan sudah berkumandang dan dia belum berangkat ke masjid, dia sudah terlambat. Akibatnya, dia mulai panik dan mulai menangis. Kami tidak pernah menuntutnya untuk datang ke masjid tepat waktu. Seingatku, suami hanya minta dia sholat di masjid minimal 1 kali sehari sebagai latihan karena saat itu usianya memasuki usia 7 tahun. Namun, anakku melebihi apa yang diminta papanya. Dia bahkan ke masjid 4-5 kali sehari dan selalu berangkat sebelum adzan. Tanpa ada yang memintanya. Dia bilang dia hanya ingin pahala yang banyak. Masalah muncul saat dia harus tidur siang tetapi bangun diwaktu yang mepet dengan waktu adzan ashar. Saat dia bisa tidur siang cepat, tidak akan jadi masalah karena dia bisa bangun jam 2. Akan menjadi masalah ketika mendekati jam 2 dia baru bisa terlelap. Tentu bangun tidak bisa jam 2. Biasanya akan bangun saat Adzan atau Iqomah. Karena sudah terbiasa menghadapi hal tersebut, sebelum tidur aku sering bikin kesepakatan sama si sulung. Gimana jika dia tidurnya cepet, gimana kalau tidurnya lama, gimana kalau dibangun sebelum adzan, gimana…
Pergantian tahun, sebuah momen untuk melakukan refleksi dan perubahan. Memang, refleksi dan perubahan tidak harus dilakukan saat tahun baru. Tetapi bisa kapan saja. Karena sejatinya setiap hari adalah sama. Namun, sebagai manusia, kadang seseorang butuh momen untuk melakukan perubahan. Mengapa? Karena perubahan tidaklah mengenakkan dan tidak nyaman. Maka banyak orang yang tidak ingin berubah. Tahun baru, bisa dijadikan momen untuk melakukan perubahan itu. Itu yang ku baca di salah satu postingan dr. Vivi Syarift. Seorang psikiater. Akupun mencoba untuk merefleksi diriku selama satu tahun ke belakang. Tahun yang cukup fluktuatif. Seperti roller coaster. Beberapa hal yang aku mimpikan terlaksana. Salah satunya adalah menulis di buku antologi. Ini adalah pencapaian yang cukup besar untukku. Aku juga lulus bunda produktif dan bunda salihah tahun ini. Tak kalah penting, aku dan suami akhirnya menelurkan Griya Langit. Sebuah project yang kami buat dan laksanakan berdua. Berharap akan terus berjalan dan mendatangkan manfaat. Hal-hal tak nyamanpun terjadi. Di awal tahun ini, aku diagnosis anxiety disorder. Sebuah perjalanan baru untukku. Perjalanan dalam berteman dan menyembuhkan gangguan ini. Sekaligus perjalanan mengenal kembali diriku. Melihat ke dalam diri. Siapa diriku, luka apa yang ada dalam diriku, apa kekuatanku, apa kekuranganku serta proses healing apa yang cocok untukku. Aku…
Ada yang salah dengan diriku. itulah yang sering aku pikirkan. Aku merasa bukan lagi diriku yang dulu. Aku menjadi orang yang sangat sensitif dan tak lagi bisa mengendalikan emosi. Apalagi saat menghadapi anak-anak. Ketidakstabilan emosi yang sangat berpengaruh pada anak-anak inilah yang selalu menggangguku. Kenapa aku tak lagi bisa seperti dulu? Kenapa sekarang aku tak tahan mendengar tangisan anak-anak? Padahal dulu aku bisa menahan untuk tidak reaktif saat anak menangis, melakukan kesalahan, atau menjengkelkan. Innerchild, pengendalian pikiran, macam emosi dan masih banyak lagi ilmu tentang emosi yang aku pelajari dan aku coba terapkan. Namun hasilnya nihil. Aku belum juga bisa berubah. Aku merasa ada hal yang perlu diperbaiki dariku. Aku perlu ke psikolog agar aku tahu apa yang terjadi padaku sehingga aku bisa mengelola emosiku dan bisa lebih sabar menghadapi anak. Begitu pikirku. Namun, tahun demi tahun berlalu, aku belum ada kesempatan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan psikolog. Sampai akhirnya, beberapa bulan lalu, aku merasa diriku semakin aneh. Emosiku makin tak terkendali terutama pada anak-anak dan suami. Aku juga merasa fisikku semakin lemah. Aku bisa tiba-tiba merasa sangat lemas dan gliyeng. Rasa-rasa ingin pingsan. Beberapa kali aku merasa aku sedang menghadapi kematian. Jantung berdetak tak karuan, napas pendek, tangan dan…
Rasanya aku sangat sedih. Aku berpikir diriku tak berharga. Aku merasa sendiri bahkan aku berpikir tak akan ada orang yang sedih dan kehilangan saat aku pergi. Tak ada orang yang membutuhkanku. Badanku terasa lemah dan lemas. Ada rasa takut untuk bangun dari tempat tidur. Apakah aku akan baik-baik saja jika aku beranjak dari tempat tidur? Apakah aku tidak akan memikirkan hal buruk itu lagi ketika aku bangun dari tempat tidur? Apakah aku tidak akan marah-marah pada anak jika aku keluar dari kamar? Sepertinya tidak! Aku hanya akan membuat permasalahan menjadi besar. Biarkan aku disini dulu, di tempat tidur ini, sampai aku siap. Biarkan aku merasakan sedih ini sendiri. Begitu pikirku. Namun nyatanya, perasaan sedihku tak sirna. Bahkan bertambah. Video lucu atau drama hanya mengalihkan rasa sedih dan pikiran yang tak ingin aku pikirkan. Aku makin menarik diri dari koneksi orang-orang terdekatku. Aku bahkan tak punya keberanian untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarku. Pikiran berlalu lalang berisik di kepalaku. Hanya saja aku malas menggubris mereka. Aku benar-benar tak mau memikirkan mereka. Aku hanya tak mau berpikir. Bodo amat. Sampai akhirnya sesi jadwal ku bertemu dengan psikolog tiba. Ya, aku memang beberapa bulan ke belakang konsultasi dan terapi dengan psikolog untuk gangguan kecemasan…