Badminton atau bulutangkis adalah salah satu olahraga yang digemari di Indonesia. Bisa jadi karena olah raga ini sering menorehkan prestasi-prestasi dari dulu hingga kini. Tak heran jika kemudian badminton selalu menjadi cabang olahraga yang ditargetkan untuk mendapat emas. Seperti halnya di ajang Asian Games 2018 ini, Indonesia ditargerkan untuk mendapatkan 2 emas. Sampai berakhirnya cabang badminton dipertandingkan, Indonesia memperoleh 2 emas, 2 perak, dan 3 perunggu memenuhi targer 2 emas oleh pemerintah. Pemilik 2 emas tersebut adalah Jonatan Christie (tunggal putra) serta Kevin Sanjaya S. dan Marcus Gideon (ganda putra). Tentu perjuangan mereka tak mudah untuk mencapai posisi ini. Mulai dari latihan, fisik, mental, dll harus selalu dijaga. Namun, kali ini saya ingin bergeser sedikit membahas tentang orang-orang dibalik 2 atlet peraih emas di Asian games 2018 ini yaitu Jonatan Christie dan Kevin Sanjaya. Kevin Sanjaya S. Dua tahun setelahe dipasangkan dengan Marcus F. G, prestasi Kevin Sanjaya terus merangkak naik. Memenangkan berbagai kejuaraan bergengsi hingga kini berada di peringkat 1 BWF dan memecahkan rekor dunia yaitu pada tahun 2017 memenangkan 7 gelar superseries serta mencapai lebih dari 100.000 poin BWF. Poin yang selama ini belum ada atlet lain yang pernah mencapainya. Dibalik kemegahan dan segudang prestasi yang dimiliki Kevin…
“Maa, aku ga mau maem ga mau minum susu!” Kata Akhtar. “Kenapa?” Tanya saya “Aku ga mau cepet besar!” Jawab Akhtar “Kenapa? Tanya saya lagi “Aku ga mau punya kumiiiiis?” Jawab Akhtar sambil mewek dan berkaca-kaca. Pecaaah tawa saya dan papa Akhtar mendengar alasan itu. Penyampaian yang lugu dan rasa cemas, sukses membuat kami geli sekaligus takjub. Bagi kita orang dewasa, kumis adalah hal wajar dan lumrah dimiliki laki-laki dewasa. Namun, bagi anak-anak, kumis mungkin menjadi hal asing yang menggelikan atau menakutkan. Duh, maaf ya nak, mama papa menertawakan kecemasan yang mungkin buat kamu itu masalah yang luar biasa besar. “Ma, aku ga mau maem ga mau minum. Aku ga mau punya kumiiiis!” Ulang Akhtar pagi harinya. “Kenapa Akhtar? Akhtar geli? Akhtar ga suka?” Kali ini tak ada lagi tawa dari saya. Saya berusaha untuk berada diposisinya. Menggeser sudut pandang. “Iyaaa”. Jawab Akhtar. “Akhtar nanti kalau dewasa boleh ga punya kumis (bisa dicukur) tapi tetep harus maem sama minum. Maem sama minum ga cuma bikin besar, Akhtar. Makan sama minum juga bikin jantung, otak, lambung jadi sehat. Kalau Akhtar luka jadi cepet sembuh. Akhtar bisa lari sama lompat karena dapat tenaga dari maem.” Begitu penjelasan saya setelah tawa saya reda….
Apa yang identik dengan kegiatan pagi seorang ibu? Jika pertanyaan itu dilontarkan pastilah banyak yang menjawab memasak, mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, urus anak, urus suami, dll. Segala macam kegiatan domestik yang banyak dan seperti tak ada habisnya harus dijalankan oleh ibu. Iya, dulu saya seperti itu, seperti kebanyakan ibu lain. Menjalani pagi yang sibuk dengan berbagai macam kegiatan dan mengajak anak ikut dalam kesibukan jika sudah terbangun. Itu saya lakukan ketika masih berdua dengan suami sampai hamil anak kedua. Semenjak ada 2 anak bawah 5 tahun di rumah, kebijakan di rumah diubah. Banyak kegiatan domestik yang akhirnya kami delegasikan. Dulu, ketika masih di Bekasi, meminta bantuan ART adalah pilihan. Saat ini, setelah pindah rumah, pembagian tugas dengan suami adalah jalan yang kami pilih. Cuci piring adalah tugas suami sebelum berangkat kerja. Membersihkan rumah serta menyiapkan makanan anak-anak adalah tugas saya. Loundry adalah pilihan kami untuk pakaian-pakaian kami (kecuali pakaian dalam). Daan, selama 2 jagoan kami pasca sunat, tugas pagi suami bertambah yaitu membelikan makanan jadi untuk saya dan anak-anak. Cerita tentang sunat bisa dilihat disini ya https://tutikandarini.com/antara-fimosis-klem-dan-khitan-anak-15-tahun/. Mengapa saya meminta suami untuk membantu? Karena banyak kejadian tak terduga yang akan saya hadapi dengan kedua jagoan saya yang alhamdulillah sehat…
Jika bicara tentang pagi, pikiran melayang tentang beberapa tahun silam. Ketika menjadi ibu baru sekaligus pekerja ranah publik. Jarak Jakarta-Bekasi yang cukup padat mengharuskan saya bangun jauh sebelum subuh. Menyiapkan sarapan, bekal makan siang untuk saya dan suami, dan pumping ASI untuk si sulung. Selepas subuh ketika matahari belum juga terlihat, jalan sehat menjadi pilihan untuk mencari angkot (waktu itu belum ada ojek online seperti sekarang). Naik angkot kemudian naik commuter line Jakarta-Bekasi yang memang hanya sekitar 20 menit. Walaupun tak lama, harus siap jiwa raga menghadapi persaingan antarpenumpang. Tak ada celah sedikitpun. Jika tak punya kemampuan bertahan, bisa terseret arus dan harus keluar di stasiun yang bukan dituju. Pernah terjadi pada saya, tetapi alhamdulillah, bisa masuk kembali sebelum kereta jalan kembali. Perjalanan belum selesai, karena masih harus naik angkot kembali untuk sampai di kantor. Persaingan tak kalah seru dengan persaingan masuk commuter line. Siapa cepat dan gesit, dia yang dapat duluan. Tak jarang, make up sudah hilang dan baju basah penuh keringat ketika tiba di kantor. Dua atau tiga jam perjalanan sebelun sampai ketempat kerja dan waktu yang sama ketika pulang. Yang artinya 4 atau 6 jam saya habiskan di jalan. Jika suami sedang libur dan bisa mengantar, perjalanan…
“Maaah, nenen.” Begitulah teriakan Arfa setiap kali PD saya terlepas dari bibir mungilnya sepanjang malam. Mungkin efek imunisasi yang membuat badannya tak enak dan tangannya nyeri. Yang artinya, sepanjang malam posisi saya miring ke kiri dan tidur yang tak nyenyak. Tangan pegal dan kepala berat saya rasakan ketika bangun. Pada akhirnya saya ijinkan diri saya kembali terlelap selepas subuh dan saya ijinkan raga saya sedikit istirahat selama anak dalam tidur. Walaupun pada akhirnya, tak ada 15 menit, si anak kembali berteriak minta ASI. Hilang sudah harapan tidur sebentar saja sekedar menghilangkan berat di kepala. Hilang sudah harapan meluruskan sendi-sendi yang kaku karena tidur meringkuk sepanjang malam. Aaah, tapi jika sudah melihat senyum tulus dan tingkah lucu si kecil, apalah arti kepala berat dan badan pegal-pegal. Meng-ASI-i dan membersamai anak-anak hanya sebentar. Nanti mereka akan punya dunia sendiri. Nanti mereka akan mengejar mimpi mereka sendiri entah di bagian dunia yang mana. Yang tertinggal adalah kenangan. Bisa jadi mereka tak ingat ibu yang bau bawang bercampur keringat. Bisa jadi mereka tak ingat remah-remah makanan bertebaran seisi rumah. Bisa jadi mereka tak ingat debu rumah yang belum sempat disapu. Bisa jadi, yang mereka ingat adalah ada atau tidaknya ibu mereka disisi mereka. Membersamai…
Tiga hari ini, Akhtar gatal-gatal sampai tak nyenyak tidur. Hampir seluruh badannya muncul bintik kecil-kecil, sebagian sudah luka karena digaruk. Akhirnya, pagi ini, saya dan suami putuskan untuk memeriksakannya ke dokter. Sekalian imunisasi Arfa, yang harusnya sudah 2 bulan lalu imunisasi DPT ulangan. Pagi-pagi suami pergi ke klinik dokter Hakam (di dekat menara Kudus) sendirian untuk mendapat nomor antrian. Karena biasanya pak dokter ini antrinya banyak dan lama. Nomor 11 dan 12 antrian yang kami dapat. “Kira-kira pukul 9 kami akan dipanggil”. Begitu pikir saya. Karena dulu kami dapat antrian nomor 9 dan diperiksa sekitar jam setengah 9. Jam 8 kami berangkat, dan ternyata, sampai disana nomor kami sudah terlewat. Yang artinya, kami harus menunggu 5 pasien lagi untuk kembali dipanggil. Tak apa, mungkin biar anak-anak ada persiapan dulu sebelum diperiksa. ?? Dan akhirnya, nama Akhtar dan Arfa pun dipanggil. Saya minta Akhtar dulu yang diperiksa. “Apa yang dikeluhkan bu?” Tanya dokter “Ini dok, badannya bintik-bintik dan gatel semua”. Sambil menunjuk badan Akhtar. “Sini yuk diperiksa”. Kata dokter sambil mengambil senter. Akhtarpun kami baringkan di tempat tidur. Diperiksalah Akhtar oleh dokter. Dokter bilang, kemungkinan gatel karena alergi karena tak ada demam yang mendahului. Kemudian diberi resep obat antigatal dan…
Ketika menjadi seorang istri, wanita itu seperti orang asing di rumah mertua sekaligus seperti tamu di rumah orang tua. Dia tak benar-benar punya rumah. Ketika dia sedang berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan suami, dia sudah dituntut untuk menjadi wanita sempurna sebagai istri sekaligus menantu. Tanpa ada yang peduli bahwa dia pun sedang belajar. Tak lama, hadir seorang anak. Artinya dia terlahir pula sebagai seorang ibu. Belum tuntas dia menyesuaikan diri menjadi istri dan menantu, dia sudah dituntut kembali menjadi ibu yang sempurna. Segala macam komentar ditujukan untuk anak-anaknya. Tanpa pernah ada yang bertanya, bagaimana harimu? Sudahkah kau makan? Sudahkah kau merawat diri? Tidak!! Segala perubahan suami adalah kesalahannya. Padahal, dialah orang yang berusaha untuk membuat perlakuan suaminya tak berbeda jauh dari ketika dia belum menikah. Sedangkan sebenarnya dia sedang terpojok sebagai tersangka perubahan suaminya. Dia adalah orang yang dituduh, tapi dia pula yang mengingatkan kebaikan dan bagaimana harus bersikap terhadap yang menuduhnya. Bukankah ini miris? Ibarat dia sedang ditembak orang, dia bilang ke orang lain bahwa orang yang menembak dia punya alasan, jangan kau langsung salahkan dia, bicara baik-baik dengan dia. Mari direnungkan. Belum lagi ketika dia harus menetralisir keadaan keluarganya yang menganggap sikap suaminya berbeda. Menjelaskan bahwa perbedaan budaya…
Waktu itu, Arfa anak kedua saya berumur 3 atau 4 bulan. Pulang dari mudik, suhu badannya tinggi selama tiga hari tanpa ada batuk, pilek, atau diare. Akhirnya kamipun (saya dan suami) ke dokter anak, takut kena typus atau DBD. Ketika di dokter, diperiksalah Arfa oleh dokter. Tenggorokan dan hidungnya aman, tak ada tanda-tanda batuk pilek. Perutnya pun bagus. Kemudian dokter memeriksa, maaf, penis Arfa. Dan ternyata, penyebab demam Arfa ada di penis. Banyak kotoran tertumpuk di ujung penisnya. Alhamdulillah belum sampai infeksi, jd hanya dibuka pakai cotton but oleh dokter dan keluarlah cairan kental berwarna hijau dari lubang pipis Arfa. Ya, Arfa terkena phimosis/fimosis dan disarankan lebih cepat lebih baik untuk di khitan. Beberapa kali berencana untuk mengkhitan Arfa, namun belum juga terealisasi karena banyak pertimbangan, salah satunya adalah kepindahan kami dari Bekasi ke Kudus. Sampai akhirnya, satu bulan yang lalu, sekitar beberapa hari setelah lebaran, Arfa sering gelisah ketika tidur dan sering bilang “aw aw” sambil menunjuk penisnya. Tanpa pikir panjang, kami pun memutuskan untuk segera mengkhitan Arfa. Beberapa pilihan metode dan tempat khitan kami cari melalui googling ataupun bertanya kepada teman. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk khitan Arfa di “Rumah Sunatan” dengan metode klem. Bagi kami klem paling…